PERKEMBANGAN
SISTEM PEREKONOMIAN
SEBELUM
ORDE BARU
1. Masa Penjajahan
Saat
masih dalam penjajahan, perekonomian Indonesia dikuasai oleh negara
asing(penjajah). Saat masa penjajahan Belanda, VOC didirikan untuk memonopoli
perdagangan di Indonesia. VOC memiliki Hak Octrooi, yang berisi :
·
Hak mencetak uang
·
Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
·
Hak menyatakan perang dan damai
·
Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
·
Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Oleh karena itu, pada saat Belanda menjajah
Indonesia, perekonomian Indonesia dikuasai Belanda sepenuhnya.
2. Masa Orde Lama
Sejak berdirinya negara RI, sudah banyak
tokoh-tokoh negara pada saat itu yang telah merumuskan bentuk perekonomian yang
tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Seperti Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa dasar
perekonomian Indonesia yang sesuai cita-cita tolong menolong adalah koperasi
(Moh Hatta dalam Sri-Edi Swasono, 1985) namun bukan berarti semua kegiatan
ekonomi harus dilakukan secara koperasi, pemaksaan terhadap bentuk ini justru
telah melanggar dasar ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo,
dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan
adalah ekonomi semacam campuran.
Menurut
UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia tercantum dalam pasal-pasal 23, 27, 33
& 34. Demokrasi Ekonomi dipilih karena memiliki ciri-ciri positif yang di
antaranya adalah (Suroso, 1993):
·
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
·
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
& menguasai hajat hidup orang banyak yang di kuasai oleh negara.
·
Bumi, air & kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara & dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
·
Pengawasan terhadap kebijaksanaannya serta
sumber-sumber kekuatan & keuangan negara digunakan dengan permufakatan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
· Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih
pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan & kehidupan
yang layak.
·
Hak milik perorangan diakui & pemanfaatannya
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
·
Potensi, inisiatif & daya kreasi setiap warga
negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan
kepentingan umum.
·
Fakir miskin & anak-anak terlantar di pelihara
oleh Negara.
Dengan demikian di
dalam perekonomian Indonesia tidak mengijinkan adanya :
1)
Free fight liberalism, yaitu adanya suatu kebebasan usaha yang tidak
terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah
dan terjajah dengan akibat semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan
si miskin.
2)
Etatisme,
yaitu keikutsetaan pemerintah yang terlalu dominan sehingga mematikan motivasi
dan kreasi masyarakat untuk berkembang dan bersaing secara sehat. Jadi
masyarakat hanya bersikap pasif saja
3)
Monopoli,suatu
bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak
memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti keingian sang
monopoli. Disini konsumen seperti robot yang diatur untuk mengikuti jalannya
permainan.
Meskipun
pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi
Pancasila, Demokrasi Ekonomi & ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti
system perekonomian liberalis & etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia.
Awal tahun 1950an- 1957an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam
perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, yang mewarnai
sistem perekonomian Indonesia pada tahun 1960an sampai dengan masa orde baru.
Keadaan
ekonomi Indonesia antara tahun 1950- 1965an sebenarnya telah di isi dengan
beberapa program & rencana ekonomi pemerintah. Di antara program-program
tersebut adalah:
a.
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai mata
uang (sanering) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga
turun.
b.
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan semangat berwirausaha para pengusaha pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya kepada importir
pribumi serta memberikan kredit pada pengusaha pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
c.
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai
bank sentral dan bank sirkulasi.
d.
Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo
I) , yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan kepada pengusaha
pribumi. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi pengusaha swasta
nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
e.
Pembatalan sepihak atas hasil perjanjian KMB,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha – pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan – perusahaan tersebut.
Walaupun demikian, semua program & rencana
tersebut tidak memberikan hasil yang berarti bagi perekonomian Indonesia.
Beberapa factor yang menyebabkan kegagalan adalah:
£ Program-program
tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relative bukan di bidangnya, namun oleh
tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung
menitikberatkan pada masalah politik, bukan masalah ekonomi.
£ Kelanjutan dari akibat di atas, dana negara yang
seharusnya di alokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru di
alokasikan untuk kegiatan politik & perang
£ Faktor berikutnya adalah terlalu pendeknya masa
kerja setiap kabinet yang dibentuk (setiap parlementer saat itu). Tercatat
tidak kurang dari 13x kabinet yang berganti pada ssat itu. Akibatnya
program-program & rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing kabinet
tidak dapat dijalankan dengan tuntas.
£ Disamping
itu program & rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi &
aspirasi dari berbagai pihak. Selain itu, putusan individu & partai lebih
di dominankan daripada kepentingan pemerintah & negara.
£ Cenderung
terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950- 1957) & etatisme (1958-
1965)
Akibat
yang ditimbulkan dari system etatisme yang pernah ‘terjadi’ di Indonesia pada
periode tersebut, dapat dilihat dari bukti-bukti berikut:
Ø Semakin rusaknya sarana-sarana produksi &
komunikasi, yang membawa dapak menurunnya nilai ekspor kita.
Ø Hutang luar negeri yang justru dipergunakan untuk
proyek ‘Mercu Suar’
Ø Defisit anggaran negara yang makin besar &
justru ditutup untuk mencetak uang baru, sehingga inflasi yang tinggi tidak
dapat di cegah kembali.
Ø Keadaan tersebut masih di perparah dengan laju
pertumbuhan penduduk sebanyak 2,8% yang lebih besar dari laju pertumbuhan
ekonomi saat itu yakni 2,2%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar